Samsung yang Melawan Takdir

Samsung, sebuah brand smartphone terbesar di dunia, yang punya pangsa pasar cukup besar di beberapa negara di dunia sejak beberapa waktu yang lalu, sejak masa keemasan pabrikan Sony Ericson, Nokia dan Blackberry tumbang. Samsung sudah ada sejak dulu, hanya saja dulu pangsa pasar mereka tidak seberapa.

Hingga akhirnya jaman dimana OS Android dikenal dan smartphone jadi barang yang lumrah, Samsung memuncaki market share merk handphone di dunia. Kesuksesannya menyaingi pabrikan lain menghadirkan smartphone berbasis  android jadi keunggulannya. Selama bertahun-tahun Samsung eksis.

Di sini saya tidak membahas pabrikan Iphone, yang saya tidak masukan ke dalam bahasan, karena buat saya Iphone berbeda 'alam'.

Selama itu Samsung mengenalkan smartphone sebagai barang ekslusif dan mahal. Sampai akhirnya lahir vendor smartphone asal China yang mulai menggerogoti pasar Samsung dengan smartphone murah meriah dengan fitur setara smartphone mahal ala Samsung. Tergerus, terus tergerus pasarnya. Gempuran vendor-vendor China seperti Xiaomi, Oppo, Vivo dan lain-lain terus memakan habis market share Samsung.

Jujur saja, sebenarnya saya sebagai konsumen ingin punya pengalaman dengan smartphone canggih. Namun, harga yang ditawarkan brand besar seperti Samsung nampaknya terlalu berat. Harganya relatif mahal untuk sebuah fitur yang kelihatannya standar saja.

Samsung saat itu masih bangga dengan caranya menjual smartphone produksinya, iklan jor-jor dan brand ambassador disewa buat terus meningkatkan nilai brandnya.

Padahal, menurut saya, cara itu justru semakin menggerus pasarnya. Dengan biaya advertising yang tinggi otomatis akan berpengaruh pada harga jual, belum lagi keinginan memperoleh untung besar sudah pasti meningkatkan harga jual smartphone produksinya, belum lagi ketidakstabilan harga bahan baku.

Sedangkan, vendor-vendor China menggunakan cara lain untuk menancapkan brandnya di pasar smartphone dunia. Memang tidak selalu sama tiap vendor China menerapkan strategi pasarnya. Tapi itu terbukti saat ini, dimana market share smartphone telah berubah. Samsung perlahan kehilangan gigi-gigi tajamnya, meski beberapa produk flagshipnya terus mengudara.

Xiaomi dan kawan-kawan sukses menghajar Samsung, hingga akhirnya Samsung nyaris gulung tikar di China. Pabrikan asal Korea Selatan itu akhirnya harus menutup pabriknya di sana untuk demi bertahan.

Strategi pemasaran Xiaomi jelas berbanding terbalik dengan Samsung yang selama ini congkak menjual smartphone dengan harga dewa. Xiaomi justru mengambil jalan membumi, mengenalkan produknya melalui komunitas, dari mulut ke mulut, tanpa membuang banyak dana untuk iklan atau bayar brand ambassador. Sebuah biaya yang lebih efektif jika digunakan untuk memberikan harga terbaik bagi konsumen, dengan kualitas harga dewa. Ditambah lagi, Xiaomi tidak mematok keuntungan besar. Inilah yang membuat nama Xiaomi makin besar.

Perlahan tapi pasti, kita bisa melihat betapa hebatnya Xiaomi menjual produk dengan harga bersahabat tapi dengan spesifikasi mumpuni. Cara ini sukses memakan habis market share Samsung.

Saya sangat senang sekali, sebagai konsumen yang menerapkan prinsip ekonomi, sangat terbantu, bisa merasakan sensasi smartphone terbaik tapi dengan membayar lebih sedikit. Apa yang dilakukan Xiaomi sebenarnya bisa dilakukan Samsung, tapi Samsung masih congkak hingga akhirnya Samsung gerah dan mulai melawan takdir.

Samsung mencoba berbagai cara untuk kembali meruncingkan gigi-giginya lagi. Samsung akhirnya merilis produknya untuk bertarung dibumi, Samsung turun harga. Samsung akhirnya memilih menjual smartphone dengan harga membumi demi mengembalikan market share yang hilang karena smarpthone murah.

M10, M20 dan M30 jadi smartphone murah milik Samsung. Kalau hanya sekedar tahu brand dan type, buat yang awam kenal Samsung, berpikir harga yang ditawarkan pasti mahal. Tapi ternyata tidak, Samsung menjual smartphonenya dengan harga sekitar 2 jutaan. Wow, jarang sekali ya mungkin gak pernah Samsung jualan dengan harga itu. Ini seperti melawan takdir.

Untuk pasar Indonesia kabarnya Samsung telah memboyongnya, kabarnya dua tipe smartphone itu telah lolos sertifikasi TKDN untuk diproduksi di dalam negeri.

Sekarang, tinggal kita lihat usaha Samsung melawan takdir ini. Saya pikir tidak salah juga, memang sudah seharusnya begitu, tidak ada kata terlambat. Kini Samsung mencoba strategi baru, membangun pasarnya kembali dari bawah, dengan M10 dan M20, kita akan lihat bagaimana pondasi market share Samsung ke depannya? Akankah dengan pondasi yang sama dengan pabrikan China membangun market sharenya, Samsung bisa mengembalikan dominasinya?

Buat saya pribadi, tetap pada jalan hidup konsumen yang baik, kalau bisa dapat spesifikasi terbaik dengan harga murah, why not? Untuk apa bayar lebih hanya untuk membayar biaya iklan dan biaya endors brand ambassador, jika memang produk yang dijual adalah yang terbaik dikelasnya.

Saat ini Xiaomi masih memberikan apa yang saya inginkan, harga murah spek setara dengan harga mahal. Apalagi Xiaomi sudah masuk resmi di Indonesia, sehingga lebih terjamin saja, meskipun saya tidak begitu takut membeli diluar yang resmi, karena saya percaya kualitasnya.

Mari kita lihat pertempuran di dunia smartphone antara Samsung vs Xiaomi dan smartphone China lainnya. -cpr-

2 komentar:

  1. Untung mereka segera sadar yah. Klo gk nasibnya bakal kayak nokia n blackberry

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, perusahaan sebesar Samsung sudah seharusnya sadar sih, kalau terlambat ya nasibnya ngenes seperti BB. Nokia masih berusaha bangkit, tapi ya, "kejayaan majapahit" tak akan pernah terulang lagi.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.